Monday, November 10, 2008

Sedikit renungan - Detik-detik akhir hukuman mati, Amrozi, Imam Samudera & Ali Ghufron (Mukhlas)

Saat itu, azan Isya yang berkumandang dari Masjid At-Taubah di kompleks Lapas Batu baru saja berlalu. Hujan deras menyamarkan suaranya. Amrozi, Mukhlas, serta Imam Samudra lekas berdiri dan mendirikan salat di dalam sel masing-masing. Mereka tidak melewatkan satu detik pun malam yang tidak berbulan tersebut tanpa ibadah.

Karena itu, bunyi pintu terali besi yang dibuka pukul 22.00 Sabtu malam tidak mengejutkan karena mereka memang masih terjaga. Di luar sel, hujan baru saja reda. Suara katak bersahutan memecah kesunyian malam yang bisu di Lapas Batu. Angin malam menerbangkan bau tanah, menggantikan bau laut.

"Mereka sama sekali tidak terkejut. Seperti sudah berfirasat," kata sumber koran ini di Nusakambangan, mengingat momen yang menurut dia tidak akan bisa dia lupakan seumur hidup itu.

Enam pejabat Lapas Batu, antara lain Kabid Administrasi Mudianto dan Kabid Pembinaan Jaya Tjahyana, yang dikawal sipir pengurus para teroris, menyampaikan kabar penting kepada Amrozi, Imam, dan Mukhlas -saat itu belum ada polisi yang dilibatkan. Pejabat tersebut mendatangi satu per satu sel mereka yang letaknya berdampingan di sel super maximum security. Pertama Amrozi, lalu Imam, dan selanjutnya Mukhlas. Isinya: "Mohon siap, satu jam lagi Anda akan dijemput untuk menjalani pidana mati."

Lalu, apa tanggapan mereka saat itu? Mereka menjawab, "Insya Allah siap. Tapi jangan disakiti." Tidak ada teriakan emosional. Mereka memang sudah tahu akan datangnya malam terakhir itu -yang memang sudah mereka tunggu untuk melengkapi konsep mati syahid menurut mereka. Apalagi ketiganya pada Rabu (5/11) sudah diberi tahu jadwal eksekusi yang akan dilakukan secepat-cepatnya 3 x 24 jam sejak pemberitahuan.

Malam beranjak larut dan bulan pun tetap belum terlihat. Ketiganya lalu bersiap menanti kedatangan regu eksekutor yang hendak menjemput mereka. Mandi dan berwudu mereka lakukan. Tidak ketinggalan setelan gamis putih plus celana panjang setumit warna gelap, cokelat atau hitam, mereka kenakan. Tidak lupa harum wangi minyak Arab mereka balurkan ke baju. "Wangi dan sudah bersih saat dijemput," lanjut sumber itu.

Amrozi dan Mukhlas mengenakan peci putih. Imam membalut rambut sebahunya dengan peci putih yang dikombinasi dengan ikat-kepala cokelat kehitaman. Rambut dan janggut mereka tetap dibiarkan berurai. Sandal jepit warna putih dan alas kaki biru menemani langkah. Di dalam sel mereka melanjutkan membaca doa hingga saat penjemputan tiba. Sipir yang berdinas di tahanan teroris kembali membuka pintu. Proses serah terima kepada anggota Brimob usai pukul 23.05.

Proses itu diikuti dengan pemborgolan tangan mereka ke arah depan dan pemasangan rantai di bagian kaki. Mereka meminta mata tidak ditutup. "Tidak ada perlawanan," tambah sumber itu.

Saat itulah Amrozi memekikkan takbir yang diikuti Imam dan Mukhlas. Sekitar lima kali mereka bertakbir. Anggota Brimob membujuk mereka agar tidak berteriak keras-keras dan dijawab Amrozi dengan seloroh, "Nggak apa-apa, Pak. Kita ini kan hanya ngusir setan." Brimob itu diam.

Semuanya lalu dibawa ke luar, menuju jalan di depan Lapas Batu. Keadaan sel tetap sunyi mencekam. Napi yang lain, yang letaknya jauh dari sel Amrozi dkk, tidak memberikan respons. Ada lima pintu yang mereka lewati sebelum menghirup udara di depan lapas. Saat mendaki tangga yang memisahkan antara bangunan penjara yang ada di kontur tanah bagian bawah dan kantor yang di atas, anggota Brimob yang mengapit satu per satu memperlakukan mereka dengan sabar.

"Sopan banget," tegas sumber itu. Tidak ada yang diseret atapun dipaksa. Urutannya adalah Amrozi, Imam, dan Mukhlas. Mereka tidak membawa Alquran ataupun tasbih. Semua lampu lapas juga dihidupkan selama proses tersebut. Tapi, tidak lama kemudian, HP dan HT serta segala tanda yang dikenakan di baju sipir diminta Brimob untuk dilepas dan disita sementara. Mereka khawatir pin itu adalah kamera tersembunyi.

"Amrozi terlihat paling pucat. Waktu bertakbir, suaranya tidak lagi nyaring. Nglokor. Tapi mencoba tegar," bebernya. Saat dibawa ke lokasi ekskusi, juga tidak ada ucapan perpisahan dengan sipir.

Juga tidak ada berkas apa pun yang mereka tanda tangani. Begitu sampai di depan lapas, mereka langsung masuk mobil Mitsubishi Strada yang telah ready dan duduk di jok tengah. Mobil itu ditumpangi sekitar delapan personel bersenjata lengkap, termasuk yang mengenakan tutup kepala.

Iring-iringan bergerak sekitar pukul 23.15. Mobil Mitsubhisi itu ada di tengah rombongan sebagaimana geladi bersih yang dilakukan pada Sabtu pagi. Namun, proses tersebut sedikit terkendala saat tiga ambulans tidak mampu mendaki terjal dan licinnya jalan menuju ke lokasi eksekusi yang letaknya di bekas Lapas Nirbaya, sekitar 6 kilometer arah selatan Lapas Batu.

Proses eksekusi lancar, tanpa halangan. Mereka juga tidak melawan. Posisinya, dengan regu tembak menghadap ke depan, Amrozi berada di paling kiri, Imam di tengah, dan Mukhlas di kanan. Mereka tidak mau mengenakan penutup mata. "Jadi hanya memejamkan mata dan menunduk saat ditembak,'' urainya. Jarum jam menunjuk pukul 00.15 saat mereka dinyatakan telah tewas dengan masing-masing satu tembakan.

Sesudah didor, jenazah yang dibungkus kantong mayat warna kuning dimaksukkan ke keranda sederhana yang dibuat dari bambu dan diletakkan di bak belakang Mitsubishi Strada. Kain mori menutupi keranda itu.

Apakah sebelum ditembak mereka bertakbir? "Iya," jawab sumber itu. Ketika eksekusi selesai, bulan sudah terlihat separo dan gerimis mulai turun.

Saat proses itu berlangsung, Kapolda Jateng Irjen Pol F.X. Sunarno dan Kalapas Batu Sedijanto menunggu di rumah dinas pejabat lapas. Menurut aturan, memang tidak semua orang bisa menghadiri eksekusi mati kecuali tim medis, rohaniwan, jaksa, dan tim eksekutor. Pukul 01.05, rombongan kembali dari tempat eksekusi. Hujan mulai turun.

Jenazah lalu dibawa ke balai pengobatan milik lapas untuk otopsi dan dibersihkan. Sekitar pukul 02.00, kerabat Amrozi dan Mukhlas, Ali Fauzi dan Syuhada, datang dan melakukan proses perawatan. Mulai dari memandikan, mengafani, dan menyalati. Pukul 06.06 helikopter terbang membawa mereka. Saat itu suasana cukup tegang. Lantaran begitu tegangnya, terjadi insiden.

Ketegangan bermula saat seorang polisi berseragam melihat dua orang yang tidak berseragam di atas tower di sebelah utara-timur Lapas Batu. Posisi itu sangat dekat dengan helipad. Padahal, heli yang sudah memuat jenazah tiga orang itu belum tinggal landas. Khawatir terjadi sabotase, petugas berseragam itu mengeluarkan tembakan untuk menyuruh dua orang di atas tower itu -yang sebenarnya juga polisi- agar turun. Dua orang itu belakangan diketahui sebagai anggota komunikasi elektronik yang memasang jammer untuk mengacak sinyal HP.

Amrozi dkk telah pergi dan tidak akan kembali. Barang-barang mereka, yang jumlahnya sekitar enam pak kardus besar, masih tersimpan di Lapas Batu. Entah kapan barang-barang itu akan diambil keluarganya. Selama mereka di Nusakambangan, musik dangdut yang sebelumnya selalu menyemarakkan peringatan tahun baru atau Agustusan sementara ditiadakan.

Kejaksaan Agung mengakui bahwa ketiganya dieksekusi tanpa penutup mata. "Ini sesuai permintaan tiga terpidana itu. Jadi dengan mata tidak tertutup," ujar Kapuspenkum Kejagung Jasman Pandjaitan di Kantor Kejagung kemarin dini hari.

Friday, November 7, 2008

The Meaning of Virtue

Virtue (Latin virtus; Greek ἀρετή) is moral excellence. Personal virtues are characteristics valued as promoting individual and collective well-being, and thus good by definition. The opposite of virtue is vice.

Etymologically the word virtue (Latin virtus) first signified manliness or courage. In its widest sense, virtue refers to excellence, just as vice, its contrary, denotes its absence. The term as used by moral philosophers and theologians signifies an operative habit essentially good, in contrast to an operative habit essentially evil. What are traditionally known as the four cardinal virtues, enumerated by the classical Greek philosophers have been translated into English as Justice, Courage, Wisdom, and Moderation. The three virtues of Faith, Hope and Charity are central aspects of the of the Judaic, Christian and Muslim traditions.

Virtue may also be identified from another perspective: it can have either normative or moral value; i.e. the virtue of a judge is to justly convict criminals; the virtue of an excellent judge is to specialise in justly convicting criminals, this being its normative value, whereas the virtues of reason, prudence, chastity, etc. have moral value.

In classical Greek, virtue is more properly called ἠθικὴ ἀρετή (ēthikē aretē), or "habitual excellence", something practiced at all times. The virtue of perseverance is itself a necessary adjunct to each and every individual virtue, since, overall, virtue is a species of habit which, in order to maintain oneself in virtue, needs to be continuously sustained. Nietzsche, however, expressed the view that "when virtue has slept, it will arise all the more vigorous.”